Tuesday, March 18, 2014

2014/11 Tribe: Andalah Pemimpin yang Kami Cari (Seth Godin)

Sumber: motherwifeme
Judul: Tribe (Andalah Pemimpin yang Kami Cari)
Penulis: Seth Godin
Penerjemah: Tim Publishing One
Penyunting: Antonius Hermawan Susilo
Penerbit: Publishing One
Cetakan: I, 2009

Sekelompok Fresh Graduate
Suatu hari, kita menjadi fresh graduate yang diterima perusahaan. Kita bersama-sama merantau dari kampung ke kota besar demi meniti karier. Di bulan-bulan awal memasuki perusahaan, kita begitu antusias. Perusahaan inilah tempat belajar sekaligus mempraktekkan apa yang pernah kita peroleh di bangku kuliah—walaupun katanya apa yang ada di kuliahan berbeda dengan di lapangan (Hmm, what a stupid statementI think) —selama empat lima tahun. Pertemuan dengan teman-teman seangkatan adalah saat untuk ‘berbangga’ dengan perusahaan kita masing-masing.

Lalu, setelah beberapa bulan semua berubah. Curhat antusiasme berubah menjadi curhat kekesalan terhadap manajemen dan kinerja perusahaan. Idealisme para mantan mahasiswa ini terkoyak, membebani pikiran mereka, dan membuat mereka menginginkan perubahan. Tetapi curhatnya hampir sama setiap kali bertemu. Sehingga sampai pada pertanyaan: “Kenapa tidak resign saja?”

Dan dia memilih resign.
Dan dia kalah.

Dia tidak menjdi agen perubahan. Ya, agen perubahan, frasa yang sering dilantangkan para mahasiswa. Namun, frasa ini menjadi terlalu sempit karena bagi mereka hanya perubahan diperlukan dalam bidang politik. Padahal masih banyak kelompok-kelompok lain yang butuh diubah, termasuk perusahaan yang bermanajemen dan berkinerja buruk itu.

Jika aku merujuk pada buku yang ditulis oleh pakar marketing ini, Seth Godin, dipastikan teman kita itu tidak menyadari bahwa dia bisa memimpin untuk perubahan. Tidak peduli apakah dia hanya seorang entry level. Dia dibutuhkan untuk melakukan perubahan tersebut. Karena salah satu ciri-ciri pemimpin adalah merasakan kemandekan yang membutuhkan perubahan atau inovasi hingga kelompok menjadi maju dan dinamis.

Jika kamu merasakan sesuatu hal yang butuh diperbaiki, kamu bisa menjadi pemimpin untuk memulai gerakan. Karena kamu dibutuhkan untuk perubahan tersebut.

Leadership
Tidak ada kaitannya kepemimpinan dengan senioritas. Sama sekali tidak ada. Kepemimpinan pun bukan bawaan dari lahir. Karismatik bukan syarat menjadi pemimpin, walaupun pemimpin pasti memiliki karisma. Tidak ada gen khusus pemimpin, atau pun ciri khas bentuk wajah dan sebagainya. Pemimpin bisa tua, muda, kaya, miskin, ekstrovert, maupun introvert. Hanya ada satu persamaan para pemimpin ini: mereka memutuskan untuk memimpin.

Oh, ya, kepemimpinan juga bukan tergantung pada jabatan. Bahkan posisi manajer bukan jaminan seseorang menjadi pemimpin.

Terlalu ambisius dan seakan haus kekuasaan? Tidak, yang diinginkan oleh pemimpin bukanlah ketenaran atau kekuasaan. Pemimpin menginginkan perubahan dan kemajuan bagi tribe-nya.

Apa itu TRIBE? 
Sekelompok orang yang terhubung dan dipimpin oleh seseorang. Tribe bisa perusahaan, komunitas, yayasan, bahkan grup di Facebook atau akun Twitter. Dan tribe, mau tidak mau, membutuhkan seorang pemimpin. Sekelompok orang yang berhobi sama tetapi tidak ada yang memimpin, itu hanya sekadar kerumunan, bukan tribe. Dan pemimpin membutuhkan tribe, atau ada istilah “True fans”, yaitu orang-orang yang peduli dengan apa yang kita lakukan. Peduli = mendukung = mengikuti.

Sebaiknya semua orang membaca buku ini, karena setiap manusia berada di kelompok. Begitulah sifat dasar manusia. Kita selalu berkelompok dengan orang-orang yang satu pandangan dengan kita, satu visi dan tujuan. Dengan membaca buku ini, kita akan mendapat banyak sekali pandangan mengenai menjadi seorang pemimpin.

Buku ini memang bukan buku how-to yang memuat langkah-langkah menjadi pemimpin. Buku ini tidak memiliki tutorial atau ritual yang harus dilakukan oleh pemimpin. Buku ini memberitahu dan mengingatkan hal-hal apa saja yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemimpin. Contohnya: pemimpin tidak takut pada perubahan, pemimpin adalah orang yang menentang status quo, menghantam kemandekan.



Seth Godin menulis buku ini dengan sistematika yang kurang jelas. Tak ada daftar isi pada buku ini. Kita tak mendapatkan bab-bab besar yang memuat sub-sub bab. Sesuatu yang cukup mengganggu di awal pembacaan, tetapi kita bisa memahami bahwa tujuan buku ini adalah sebagai pemberitahu (untuk pembacaan pertama kali) dan pengingat (untuk bacaan selanjutnya). Kita bisa membuka halaman mana saja suatu saat nanti dan membaca satu bagian. Setiap bagian ditulis pendek-pendek, judulnya dihitamkan, seperti caraku menulis resensi ini. Jadi, bagi yang membutuhkan inspirasi cepat mengenai kepemimpinan, bisa menikmati buku ini sambil minum kopi pagi hari.

Thursday, March 6, 2014

2014/9 By The River Piedra I Sat Down and Wept (Paulo Coelho)

Sumber: Mars Dreams
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Desain: Dina Chandra
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 6, Mei 2011

Teman Masa Kecil
Selama ini kehidupan Pilar di Zaragoza berjalan begitu saja, tanpa ada impian yang benar-benar membuatnya hidup. Satu hari, dia mendapat undangan dari tema masa kecilnya yang akan memberikan kuliah di Madrid. Sang teman itulah impiannya, sosok yang dia cintai semenjak kecil. Namun, mereka sama-sama memendam perasaan yang tak terungkapkan. Selama ini kabar cowok itu hanya Pilar dapatkan melalui surat.

Dan dia terkejut. Ternyata teman masa kecilnya itu seorang yang cukup terkenal. Hadirin kuliahnya sangat banyak. Orang-orang mengatakan cowok itu mampu melakukan mukjizat. Tentu saja Pilar bingung. Setelah sekian lama, orang yang ditemuinya sama sekali berbeda. Temannya calon imam, yang sedang belajar di seminari, dan membawa ajaran baru: bahwa Tuhan juga mempunyai sifat feminin.

Cowok itu mengajak Pilar ikut serta ke tujuannya selanjutnya, ke Bilbao, ke Prancis. Pilar ragu, dia punya kehidupan di tempat asalnya, dia harus kembali ke kampus dan belajar. Namun, selama ini Pilar sama sekali tidak pernah berpetualangan. Dia merasa tidak pernah membiarkan spontanitas memberikan warna pada hidupnya. Dengan bujukan temannya, akhirnya Pilar bersedia. 

Namun, perjalanan itu menjadikan dilema dalam hati Pilar menjadi. Dia masih mencintai cowok itu dan sebaliknya. Mereka saling mengucapkan cinta. Hanya ada satu hal yang perlu mereka tuntaskan. Sang calon imam membawa misi dalam hidupnya. Dia bisa menerima misi itu demi umat manusia, tetapi ada hal yang perlu dikorbankan. Dan pengorbanan paling besar adalah melepaskan Pilar.

Pilar, setelah sekian lama membiarkan mimpi-mimpinya diam, bermaksud untuk memperjuangkan cintanya. Sayangnya tak semudah itu jika yang berada di tengah-tengah mereka adalah Tuhan dan keimanan. Pilar pun tidak ingin kembali ke kehidupan biasanya, dia ingin ikut bersama cowok itu demi melayani Dia dan semacamnya.

Sisi Feminin Tuhan
Jika Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, bukankah berarti Tuhan memiliki dua sisi, yaitu maskulin dan feminin? Itulah salah satu pertanyaan yang diajukan dalam novel ini. Selain Bapa ilahi, juga ada Bunda Ilahi, yaitu Maria yang Dikandung tanpa Noda. Tuhan, melalui Maria, melahirkan anak-Nya, Yesus, untuk memberikan kebahagiaan bagi umat manusia. Kebahagiaan, itulah yang diinginkan Tuhan, tetapi manusia mempunyai sifat buruk untuk melukai sesamanya.

Itulah sebagian hal yang menjadi ajaran sang imam. Pilar mencoba memahaminya. Dia tidak terlalu relijius, bahkan dia tidak percaya lagi pada ajaran agama yang diwariskan dari orangtuanya (ajaran bahwa Tuhan adalah laki-laki). Bagi Pilar, hal-hal seperti itu tidak membawanya ke mana-mana. Namun, dia merasakan keimanan kembali setelah bersama-sama temannya itu kembali. Dia belajar mengenai kasih sayang, yang mereka yakini adalah perwujudan sifat feminin Tuhan.

Khas Paulo Coelho
Tulisan Paulo Coelho, menurutku, selalu terasa magis. Aku sudah membaca The Alchemist, Aleph, Veronica Decides to Die, dan buku ini. Ketiga-tiganya memberikan kesan yang sama bagiku. kalimat-kalimatnya seakan melayang, berada di atas kertas. Masalahnya, itu membuatku terkadang sulit untuk berada di dalam cerita. Aku perlu mengulang berkali-kali beberapa paragraf sebelumnya demi mengingat apa yang terjadi. Apakah karena terlalu banyak dialog ‘ceramah’ di dalamnya? Bisa jadi.

Paling tidak, tema yang berat bisa disajikan dalam balutan cerita cinta. Tentang ajaran agama, pengorbanan demi melayani Tuhan, dan cinta yang berada di tengah-tengah ketidakpastian. Bagi Pilar, sepertinya neraka berada di tengah-tengah surga. Artinya: agar manusia ingat kepedihan di saat mereka bahagia. Satu hal ada demi bisa memahami hal lain.

Tuesday, March 4, 2014

2014/8 For One More Day (Mitch Albom)

Sumber: bacaanbzee
Judul: For One More Day
Penulis: Mitch Albom
Penerjemah: Olivia Gerungan
Desain cover: Eduard Iwan Mangopang
Penerbit: Gramedia
Cetakan: 2, April 2008

Seseorang yang menyerah
“Biar kutebak. Kau ingin tahu kenapa aku mencoba bunuh diri.”
Dua kalimat di atas diucapkan oleh Chick Benetto, sang tokoh utama, kepada penulis novel ini. Novel yang ditulis seperti memoar, sedikit banyak membuat kita bertanya-tanya apakah cerita ini fiksi atau dari kejadian nyata. Namun, kisah fiksi tidak bisa seratus persen kebohongan belaka. Di dalamnya selalu ada kebenaran. Dan tentu saja buku ini fiksi. Kali ini aku membaca tentang seorang pria yang mencoba bunuh diri, dua kali, namun kembali ke kehidupan setelah melewatkan waktu bersama ibunya yang sudah meninggal.

Cerita bergulir dari usaha Chick bunuh diri dengan menabrakan diri ke truk di jalan tol, lalu dia menaiki menara air. Dia menjatuhkan diri, menghantam tanah. Namun, dia tidak berhasil menyelesaikan misi bunuh dirinya. Karena itu dia bangkit berjalan menuju rumah masa kecilnya. Di sana dia bertemu ibunya. Chick tidak percaya pada apa yang terjadi. Namun, semua terasa sangat nyata. Ibunya membuatkan sarapan, lalu mengajaknya pergi ke tiga tempat di kota mereka. Chick, dalam keterpanaannya, mengikuti ajakan ibunya, sang hantu.

Sepanjang perjalanan, dia mulai mengenang lagi masa-masa saat mereka masih satu keluarga. Saat dia harus memilih menjadi Anak Ibu atau Anak Ayah. Dia memilih menjadi Anak Ayah. Dia selalu bermain bisbol, berusaha menjadi anggota tim bisbol di sekolah, lalu mendapat beasiswa, dan menjadi pemain pro. Namun, saat masih sekolah, Ayah Chick pergi begitu saja. Ini membebani Chick. Dia tidak mengerti kenapa ayahnya pergi tanpa sempat berpamitan. Sedangkan ibunya tidak berniat untuk menyampaikan cerita sebenarnya. Chick remaja sungguh kebingungan.

Cerita Hantu
Begini kata-kata penulisnya: 
“Ini sebuah cerita tentang keluarga dan, karena melibatkan sesosok hantu, kau bisa menyebutnya cerita hantu. Tapi semua keluarga adalah cerita hantu.”
Bagi Chick, sosok ibunya akan selalu dikenang. Chick juga menyimpan penyesalan karena tak sempat mengucapkan perpisahan. Saat ibunya pergi, dia tidak ada didekat beliau. Chick menyesali itu. 

Dan dia diberikan kesempatan satu hari menghabiskan waktu bersama ibunya. Dalam satu hari yang singkat itu, ibunya menceritakan segala hal yang Chick belum tahu tentang keluarga mereka. Informasi-informasi itu membuat Chick semakin menyesali perbuatannya di masa lalu. Namun, seperti kata ibunya, Chick harus memaafkan seseorang—yaitu dirinya sendiri. 

Perlahan-lahan, rahasia terbuka
Mitch Albom terkenal dengan novel Tuesday With Morris. Aku belum pernah membacanya, tetapi setelah membaca For One More Day, aku jadi ingin membaca kisah itu. 

For One More Day sangat menarik. Novel ini ditulis dengan sederhana, tetapi menyimpan banyak cahaya di dalam kata-katanya. Konflik cerita disajikan di awal. Pembaca jadi tahu bagaimana dan tentang apa novel ini. Perlahan-lahan, penulis menyampaikan hubungan antartokoh, konflik mereka. Kemudian, dia menaburkan sedikit demi sedikit potongan kisah. Satu bagian kita mengenal tokoh begini, lalu di bagian lain kita mendapatkan hal yang membuat kita simpati pada tokoh. Semakin kita membalikkan halaman, rahasia semakin terbuka. Akhirnya kita tahu apa yang menjadi penyebab bunuh diri itu. Dan tentu saja mengenai kenapa ayah Chick pergi begitu saja.

Sebagai penulis, kita bisa belajar dari novel ini, yaitu membuat narasi yang mengalir dan apa adanya. Jangan berusaha keras untuk menciptakan suasana dramatis. Sampaikan cerita dengan jujur. Namun, berikan kisah sepotong demi sepotong. Buatlah pembaca mengenali dulu tokoh dan kejadian sebelum konflik utama terjadi. Inilah status quo. 



Jangan menggantung pembaca dengan sengaja. Usahakan pembaca tidak sadar bahwa adegan itu memang dipotong agar mereka penasaran. Lalu, semakin menuju klimaks, bukalah rahasia besarnya. Tinggalkan pembaca dengan sebuah ending yang akan selalu diingatnya. Ending yang memuaskan.  Walaupun ending novel ini, lagi-lagi, terasa seperti memoar/buku kisah nyata, tetap saja novel ini menarik untuk dibaca.