Thursday, February 20, 2014

2014/7 Can't Wait to Get to Heaven (Fannie Flagg)

Judul asli: Can’t Wait to Get to Heaven
Penerbit: Voila Books
Jumlah halaman: 525 halaman
Penerjemah: Dian Guci
Editor: Suhindrati a. Shinta
Penyelaras aksara: Ifah Nurjani, Alfiyan
Pewajah sampul: Widu Budi
Pewajah isi: elcreative26

Satu hari di Elmwood Springs, Missouri, tanggal 1 April 
Elner Shimfissle, berumur lebih kurang 89 tahun (bahkan keponakannya sendiri tidak tahu pasti umur Elner berapa), jatuh dari tangga saat mengambil buah ara dari pohonnya. Dia tidak sengaja menyentuh sarang tabuhan (tawon besar) sehingga dia diserang sekumpulan hewan ganas itu hingga jatuh. Dengan tubuh setua itu, dan gemuk, Elner membuat orang-orang tak yakin dia selamat. Tetangganyalah yang menemukan dia pertama kali. Dia dibawa ke IGD rumah sakit di Kansas city, karena Elmwood Springs hanyalah kota kecil yang tidak punya IGD. Elner diperiksa, lalu dinyatakan dia meninggal pukul 09.47.

Berita itu membuat semua orang yang mengenal Elner terkejut dan sedih. Terutama Norma, keponakannya yang sangat dekat dengannya. Semua orang mengenal Elner sebagai orang yang baik, ramah, senang membantu, dan berpikiran terbuka. Walaupun Elner kalah cantik dan pintar seperti adiknya, Ida—yang mana adalah ibu dari Norma—tetap saja Elner menjadi sosok yang menarik. Dia selalu mempertanyakan hal yang jarang dipikirkan orang, memperhatikan orang lain yang tidak diperhatikan, dan banyak kebaikan lain. Bahkan yang tidak pernah kamu bayangkan akan dilakukan oleh seorang berusia paruh baya. 

Meninggalnya Elner membuat semua orang sedih, dan acara pemakaman pun dipersiapkan. Seluruh kota siap untuk berbela sungkawa. Namun, Elner mengalami NDE (Near Death Experiences) dan kembali hidup. Seorang perawat muda panik setengah mati melihatnya. Norma pingsan untuk kesekian kalinya. Sebuah kejutan tak diharapkan, tetapi semua senang bahwa Elner tidak jadi meninggal. 

Tentang masyarakat
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga mahatahu (omnisien). Jadi, pembaca bisa mengetahui apa saja yang terjadi akibat berita kematian tersebut. Mulai dari orang-orang terdekat Elner, yaitu Norma, Macky—suami Norma, Tot dan Ruby—tetangga Elner, penyiar radio, redaksi koran lokal, teman Elner di wilayah pertanian pinggir kota, banyak orang lagi, hingga anak Norma yang tingga jauh di St. Loius. Kita bisa mendapatkan bagaimana hubungan para tokoh itu dengan Elner. 

Tentu saja ini membuat begitu beragamnya karakter di dalam novel ini. Setiap karakter dibuat berbeda, namun tetap memperlihatkan bagaimana masyarakat kota kecil Amerika. Mereka saling mengetahui kabar masing-masing, saling peduli, dan akur. Sebuah kejadian seperti kematian, bisa sangat menghebohkan. 

Di mana klimaksnya?
Hal pertama yang kupelajari dari novel ini adalah pembukaan novel mestilah mencerminkan isi buku. Sejak awal pembaca sudah diberitahu bahwa novel ini komedi dan gaib. Maksudku, sejak awal ada dialog lucu serta adegan arwah Elner mengomentari keadaan di sekitarnya. 

Setelah Elner Shimfissle tak sengaja menjolok sarang tabuhan di atas pohon ara miliknya itu, hal terakhir yang diingatnya adalah berpikir sendiri, “Waduh!” .... “Tuhan yang baik,” pikirnya. “Ada-ada saja, sih." (halaman 1)

Dan berikutnya Elner mengomentari jubah hijau para tenaga medis yang sedang berusaha membuatnya tetap tejaga. Arwah Elner sendiri, tanpa dia sadar, sudah berpisah dengan jasadnya.

Kedua, setiap hal yang dibicarakan oleh karakter mestilah ada pengaruhnya dengan konflik utama. Di sini, walaupun konfliknya cukup ajaib tetapi bukan sesuatu yang bombastis, adalah tentang Elner yang meninggal sementara dan melalui perjalanan ke ‘surga’. Hal-hal yang dibicarakan oleh dia sebelumnya dan oleh karakter-karakter lain, terkait denga percakapannya dengan ‘pencipta dunia’, yang teryata adalah sepasang suami istri Dorothy dan Raymond. Neighbor Dorothy adalah acara radio kegemaran Elner dulu.

Ketiga, penulis bisa menyampaikan pesan tanpa ceramah dengan membuat karakter mengobrol satu sama lain. Tambahkan humor dan sinisme agar membuat dialog menarik.

Keempat, kita bisa mengeksplor sebuah kejadian berdampak pada bermacam-macam karakter, sehingga, well, untuk penulis yang kesusahan menulis 'tebal',  ini bisa jadi salah satu solusi. Coba bayangkan sebuah sebab dan pikirkan puluhan akibatnya. Pikirkan pula puluhan akibatnya terhadap orang-orang yang akan terkena dampak. Begitulah kita bisa membuat cerita yang lebih menarik.

Walaupun begitu, beberapa bagian novel ini cenderung membosankan. Perbedaan ritme cerita di awal dan menjelang penghabisan jauh berbeda. Di awal fasenya lambat. Adegan satu hari menghabiskan lebih setengah buku. Sedangkan seperempat terakhir buku terlalu cepat. Bab-bab menjadi pendek, kronologi melompat satu tahun begitu saja. Tentu saja, jika ingin cerita yang lebih detail akan jadi mubazir dan novelnya bisa setebal 2000 halaman. 

Masalah lain adalah aku tidak mengerti di mana klimaksnya. Menurutku cerita ini bisa selesai setelah Elner kembali tinggal di rumahnya setelah kejadian ajaib bertemu tuhan tersebut. Itulah kilmasknya. Namun, kita diberikan cerita tambahan karena banyak hal dan karakter yang menuntut untuk diberi peyelesaian. Dasar penulisnya sangat baik, setiap karakter mendapat porsi cerita, bahkan karakter yang sangat minor. Oh, ya, bahkan penulis menceritakan tentang kue dan pistol. Akibatnya dua bab terakhir terpaksa menjadi rekap kejadian yang bisa dijabarkan, tetapi akan memakan banyak tambahan halaman. Kita tahu, bab rekap itu kurang menyenangkan. 



Novel ini tetap menarik. Penulis mengangkat tema kematian dan kebaikan dengan kocak, bertokohkan lansia (hampir tidak ada tokoh berusia di bawah 30 tahun), dan narasi cukup segar tak berbelit-belit. Dan aku jadi ingin kembali sesekali menonton Golden Girls, serial TV  yang pernah kutonton masih zaman kuliah. Hahaha.

2014/6 The Miraculous Journey of Edward Tulane (Kate DiCamillo)

Judul: The Miraculous Journey of Edward Tulane 
Penulis: Kate DiCamillo

Sumber Gambar: Poplar
(aku baca versi bahasa Indonesia, kok :D)

2014/5 The Hours (Michael Cunningham)

Sumber gambar: annisaanggiana
Judul: The Hours
Penulis: Michael Cunninghum
Penerjemah: Saphira Tanka Zoelfikar
Editor: Anwar Holid
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: 1, 2008

Tentang Tiga Orang Perempuan
Ada tiga tokoh di dalam novel ini, masing-masing diceritakan pada bab terpisah. Nama mereka menjadi penanda bab yang menceritakan mereka. Yaitu Mrs. Woolf, Mrs. Dalloway, serta Mrs. Brown.

Mrs. Woolf adalah Virginia Woolf, seorang penulis Inggris yang terkenal dengan karyanya mengenai perempuan. Diceritakan Virginia sedang berusaha menulis novel terbarunya, The Hours (terbit dengan judul Mrs. Dalloway), setelah dia pulih dari skizofrenia. Dia ingin kembali biasa, namun dia tak bisa melepaskan pikirannya yang terkadang menganggu. Ceritanya berlangsung pada tahun 1923 di Richmond, daerah pinggiran luar London.

Mrs. Dalloway adalah Clarissa Vaughan, seorang lesbian dan editor yang tinggal di New York. Sahabatnya dalam kondisi parah akibat AIDS, yaitu Richard, gay dan penulis yang baru saja dianugerahi salah satu penghargaan sastra. Richard memanggil Clarissa sebagai Mrs. Dalloway, karakter dalam novel Virginia Woolf. Cerita merekaberlangsung pada hari di mana malamnya Clarissa akan mengadakan pesta untuk Richard, tepat sebelum malam penganugerahan tersebut, di akhir abad keduapuluh.

Mrs. Brown adalah Laura Brown, seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil anak kedua, tinggal di Los Angeles. Ceritanya berlangsung pada hari ulang tahun suaminya, Dan, di tahun 1949. Dia berusaha menciptakan hari itu spesial dengan membuat kue, hadiah, dan mengadakan pesta. Semuanya dia lakukan bersama Richie, putranya yang kalem.

Pikiran-pikiran yang berputar di kepala
Masing-masing cerita hanya berlangsung sekitar satu atau dua hari. Masing-masing tokoh, dengan tujuan yang cenderung biasa, hanya ingin rencana mereka berjalan lancar. Namun, satu hari bisa menjadi panjang, jika dihitung dalam jam. Dalam satu hari apa yang bisa terjadi, dalam satu jam apa yang bisa terjadi? Pikiran-pikiran para tokohlah yang menjadi perhatian. Bukan sekadar apa tindakan mereka demi mewujudkan tujuan mereka, namun isi kepala merekalah yang menjadi fokus penulis dalam novel ini.

Virginia masih kesulitan setelah pulih skizofrenia, dia kesulitan menentukan sikap terhadap orang-orang di rumahnya. Dia mengamati suaminya Leonard, menantang pelayannya sendiri, Nelly, dan memikirkan seekor burung mati yang dibaringkan oleh anak-anak saudara perempuannya, Vanessa. Dia juga mengingat ciuman selamat tinggalnya dengan sang kakak tersebut. Selain itu dia memikirkan calon novel Mrs. Dalloway.

Clarissa, dengan porsi cerita lebih banyak, menghabiskan pagi dengan membeli bunga untuk pesta, lalu mengunjungi Richard, lalu kembali ke rumah menemui pasangannya, lalu anaknya, lalu mantan Richard. Kelebatan pikirannya berkisar tentang dia dan Richard ketika masih muda, betapa saat ini dia kasihan sekali dengan Richard yang sudah menjelang kematian. Itu pun membuat Clarissa memikirkan kematiannya sendiri.

Sedangkan Laura, pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang menjadi istri bagi suami yang berulang tahun hari itu. Laura berusaha menjadi istri dan ibu yang baik, dengan beranjak dari tempat tidur—yang menginterupsi bacaannya, novel Mrs. Dalloway, membuat kue ulang tahun, menjaga anjing tetangga. Namun, dia tetap ingin mempunyai waktu untuk menghabiskan buku itu. Akhirnya dia menitipkan anaknya kepada tetangga.

Seperti cerita yang tanpa ujung, hingga kamu terkejut
Salah satu teknik menulis novel, apalagi bagi yang kesulitan membuat cerita panjang dengan satu tokoh utama (seperti aku), adalah dengan menciptakan banyak tokoh utama. Bisa tiga atau empat tokoh, atau lebih. Ceritakan beberapa orang dengan satu hal yang menjalin cerita ‘terpisah’ tersebut. Banyak contohnya, salah satunya novel yang memenangkan Putlizer Award dan PEN/Faulkner Award pada tahun 1999 ini. Awalnya tampak tidak berkaitan, namun semakin kita membalik halaman, cerita bergulir ke satu arah, tema novel ini sendiri. Salah satu yang mengikat tiga cerita dalam novel ini adalah novel Mrs. Dalloway, karya Virginia Woolf, yang karakternya menyukai sesama jenis.

Alur cerita dalam novel ini sungguh pelan, karena banyak narasi pikiran-pikiran para tokoh. Apalagi cerita berlangsung dalam waktu singkat. Beberapa bagian terlalu detail hingga hampir membuat bosan. Rasanya cerita ini tidak akan ada ujungnya, seakan-akan waktu di sana bertahan pada jam 3 sore saja. Jam 3 sore yang berlangsung empat jam. Namun, semakin ke belakang, semakin terbuka pintu rahasia, lalu kejutannya. Dan kita bisa menentukan siapa tokoh utama sebenarnya novel ini.

Yang paling menarik, tentu pikiran-pikiran para tokoh sendiri. Ketakutan dan kesedihan mereka masing-masing, antara kenyataan atau hanya dibuat-buat. Virginia takut jika dia tidak bisa menulis lagi. Clarissa takut pestanya akan gagal, serta Richard akan meninggal. Laura takut selamanya hanya menjadi istri dan ibu. Hal ini membuatku berpikir bahwa rasa takut itu bisa muncul begitu saja, datang dari luar, dari lingkungan sendiri. Namun, apakah itu kesalahan dari mereka semata? Kita tak bisa menghakimi sesuatu yang terjadi di otak orang lain. Solusinya tidak sesederhana melupakan atau berusaha tidak memikirkannya.

Sumber gambar: Wikipedia
Suasana novel ini sungguh sedih. Setelah membacanya, perasaan sedih itu tetap tertahan. Prolog saja dimulai dengan kisah nyata kematian Virginia Woolf. Penulis ini bunuh diri di tahun 1942 dengan menghanyutkan diri di sungai. Suaminya mendapat surat perpisahan (suratnya bisa dibaca di sini). Dan bunuh diri Virginia adalah salah satu kunci cerita.

Sebenarnya, menurutku, aku akan lebih memahami cerita ini jika aku sudah membaca Mrs. Dalloway. Karena seperti salah satu endorsement di buku ini, yaitu dari Yale Book Review: “Dengan The Hours, Cunningham telah melakukan hal yang mustahil; ia mengambil sebuah karya sastra yang diakui, mengerjakan ulang, dan membuat versinya sendiri.” Bisa jadi, ada pengulangan beberapa hal dari Mrs. Dalloway dalam The Hours. Entahlah. Sepertinya aku harus membaca novel yang terbit tahun 1925 tersebut. Dan sekadar info, novel ini sudah difilmkan pada tahun 2001, diintangi Meryl Streep, Nicole Kidman, dan Julianne Moore.

2014/4 Pay It Forward (Catherine Ryan Hyde)

Sumber: aksiku.com
Judul Pay It Forward
Penulis: Catherine Ryan Hyde
Penerjemah: Diniarty Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, Maret 2001

Sastra adalah propaganda
Salah satu cara untuk menyampaikan idemu adalah melalui sastra, dengan menulis fiksi. Sejarah telah banyak membuktikan ini cukup ampuh. Tanpa kekerasan. Tanpa pemaksaan. Cerita bisa memengaruhi orang, merasuk ke alam bawah sadar mereka. Coba diingat kembali, buku apa yang suka kamu baca waktu kecil? Tidak mengherankan salah satu atau beberapa sifatmu terpengaruh oleh watak tokoh dari buku tersebut. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan perbedaan sebuah bangsa berdasarkan ciri khas dongeng anak-anak mereka.

Novel yang sudah difilmkan dengan judul yang sama, Pay It Forward, pada tahun 2000 ini bisa dibilang sebagai karya propaganda. Isinya terang-terangan menunjukkan sebuah ide untuk mengubah dunia. Pay It Forward, atau Membalas ke Yang Lain. Ide yang diawali sebuah tugas di kelas ilmu sosial SMP, oleh anak berumur tiga belas tahun.

Tugasnya sederhana:
PIKIRKAN SEBUAH IDE UNTUK MENGUBAH DUNIA. DAN LAKSANAKAN IDE ITU.

Trevor McKinney, siswa tersebut, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Dia bisa saja tidak mengerjakannya karena tugas tersebut hanya untuk nilai ekstra. Namun, menjadi seorang anak kecil berarti tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan. Sedangkan orang tua selalu melihat penghalang dalam mewujudkan impian mereka.

Idenya begini: A akan melakukan sebuah bantuan kebaikan kepada tiga orang. Kebaikan yang besar, sesuatu yang bisa mengubah hidup orang-orang tersebut, membuat mereka sangat bersyukur. Kemudian masing-masing akan membalas ke tiga orang lagi. Dari 3 menjadi 9 menjadi 27 menjadi 81. Seperti MLM tetapi lebih tulus.

Reuben St. Clair, guru ilmu sosialnya, terkesan dengan ide tersebut. Bahkan dialah salah satu orang yang ditolong Trevor. Reuben adalah veteran perang Vietnam, sebuah kecelakaan perang membuat sebelah mukanya terbakar, mata kirinya hilang. Dia memakai penutup mata ke mana-mana. Dia pun sudah terbiasa melihat pandangan aneh orang setiap pertama kali melihatnya.

Orang pertama yang dibantu oleh Trevor adalah Jerry, seorang tunawisma. Trevor memberinya uang untuk membeli pakaian dan melamar pekerjaan. Orang kedua adalah Ida Greenberg, nenek tua yang kesepian dan tidak dipedulikan anaknya. Trevor membantunya dalam merawat taman dan kucingnya, dua hal yang dicintai Mrs. Greenberg. Dan orang ketiga adalah Reuben. Trevor berusaha menjodohkan gurunya dengan ibunya sendiri, Arlene McKinney.

Namun, tidak ada yang berjalan dengan mulus. Jerry kembali ke kebiasaan lamanya berjudi tepat setelah gajian pertama diterima—yang langsung habis. Mrs. Greenberg meninggal dunia tanpa sempat membalas ke yang lain. Sedangkan Reuben tak serta merta bisa menerima hubungan dengan Arlene, karena dia masih memiliki ketakutan diakibatkan fisiknya dan segala macam.

Trevor hampir menyerah, hingga tanpa disadarinya, setiap orang masih punya nurani untuk menolong orang lain.

Kelompok marginal
Penulis berhasil membuat adegan-adegan dramatis namun tidak cengeng. Padahal dia sengaja menyorot kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan memang patut ditolong, tetapi di dunia nyata mereka terkadang disalahartikan sebagai ‘kurang manusia’. Lihat saja orang-orang yang ditolong Trevor: tunawisma-pengangguran, orang tua kesepian, orang dengan keterbatasan fisik. Belum lagi tokoh-tokoh yang memperoleh efek pay it forward dari orang yang Trevor tolong: kasir remaja di toko sembako, gadis gemuk yang rapuh, anggota geng kelas teri, gay, dan waria. Bahkan keluarga Trevor sendiri tidak lengkap, ayahnya seorang tak bertanggung jawab yang pergi begitu saja tanpa kabar dan datang begitu saja tanpa merasa bersalah. Orang-orang bermasalah juga manusia, juga membutuhkan pertolongan. Niat baik Trevor hanya untuk mengubah dunia, sesuatu yang mungkin saja bisa tercapai.

Hal ini mengingatkanku pada pendapat bahwa adalah manusiawi jika manusia melakukan kejahatan. Kita membaca kisah Habil dan Qobil di kitab suci, atau kisah Adam dan Hawa memakan buah terlarang. Manusia memang berbuat salah. Malah aneh manusia melakukan kebaikan kepada sesamanya. Dan, ya, dalam novel ini gerakan Membalas ke Yang Lain diliput oleh media. Saat efeknya tersebar ke banyak penjuru semakin banyak berita kebaikan di koran. Seandainya saja memang hanya berita seseorang melakukan kebaikan kepada orang lain yang masuk berita. Seandainya~

Novel vs. Film
Aku tidak terlalu banyak membaca buku yang difilmkan dengan urutan menonton dahulu baru membaca bukunya. Namun, setiap kali mencoba selalu merasa buku lebih komplit dan memuaskan bagiku. Dengan keterbatasan masing-masing, buku jauh lebih unggul dalam segi menyampaikan cerita. Kita bisa diberi penguluran waktu, berdebar-debar menunggu kejadian selanjutnya, berkali-kali, saat membaca buku. Sedangkan film, kebanyakan masalah yang kompleks terihat begitu sederhana. Kurang terasa, seperti makan dengan sambal yang kurang pedas.

Namun, penggunaan sudut pandang yang berpindah-pindah, walaupun dijelaskan, cukup mengangguku, membuat aku agak kesulitan menyelesaikan lebih cepat. Jika saja buku ini disajikan tanpa ada POV 1 (dalam bentuk wawancara atau jurnal para tokoh) tiba-tiba muncul di POV 3, tentu proses pembacaan akan lebih lancar.

Buku ini sangat bagus untuk dibaca demi memahami apa itu pay it forward. Dan gerakan ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Yup, beginilah hakikat sebuah karya fiksi, tugasnya untuk menyampaikan propaganda. 

2014/3 Love Story (Erich Segal)

Sumber: Hachette
“Kenapa kau begitu yakin aku dari prep school?”
“Tampangmu bodoh dan kaya,” jawabnya sambil mencopot kacamatanya.
“Kau keliru,” protesku. “Sebenarnya aku cerdas dan miskin.”
“Oh, jangan mengada-ada. Aku cerdas dan miskin.”
“Apa yang membuatmu begitu pintar?" Aku bertanya padanya.
“Aku takkan mau ditraktir minum kopi olehmu,” ia menjawab.
“Aku juga tak akan mau mengajakmu.”
“Itulah,” balasnya, “tandanya kau bodoh.”
Dan dialog paling kusuka saat Jenny menggoda Oliver:
“Jenny, kalau kau begitu yakin aku bodoh, kenapa kau memaksaku mengajakmu minum kopi?”
Ia menatap mataku dan tersenyum.
“Aku suka tubuhmu,” katanya. 



Pertama terbit tahun 1970
Akhirnya aku bisa membaca versi novel cerita ini, setelah selama ini hanya menonton filmnya sekitar ... tidak kurang dari sepuluh kali mungkin. Haha. Pertama kali, saat masih ‘kecil’, seperti pernah kuceritakan di sini. Tetap saja cerita ini membuatku merasa seakan ada wallpaper taman bunga pada dinding kamarku. Kisah Oliver dan Jenny sudah menjadi cerita klasik tentang dua orang yang berasal dari status sosial berbeda. Ceritanya sentimental, memang, tetapi tidak terlalu berlebihan, menurutku.

Novelnya dibuat setelah filmnya selesai, dan terjual sebagai best seller internasional. Sedangkan filmnya sendiri memperoleh nominasi Oscar untuk beberapa kategoi termasuk “Best Writing, Screenplay Based on Material not Previously Published” untuk Erich Segal sendiri (kategori yang panjang juga, ya~). Dan film ini memenangkan kategori “Best Music, Original Score” untuk Francis Lai. Lagu “(Where do I Begin) Love Story” memang indah. Jadi, pengen dengar lagi, nih.


Oliver dan Jenny
Cerita dimulai dari Oliver dipermainkan Jenny saat cowok itu ingin meminjam buku di perpustakaan Radcliffe. Jenny, si petugas perpustakaan, dengan sentimennya pada mahasiswa Harvard, menyindir Oliver. Seharusnya mahasiswa Harvard punya perpustakaan yang lebih lengkap. Oliver berusaha berbaik-baik, tetapi sebagai orang bertemperamen buruk, dia hanya bisa membalas perkataan Jenny demi memperoleh buku itu. Lalu terjadi percakapan seperti kukutip di atas.

Cerita berlanjut. Mereka saling jatuh cinta, membuat mereka berubah, seperti orang jatuh cinta pada umumnya—ingin menjadi yang terbaik bagi pasangannya. Namun, tetap saja ada ketakutan-ketakutan akan kehilangan. Seperti Oliver, dia sering digoda teman sekamarnya karena sudah di-‘kuasai’ oleh Jenny. Atau seperti Jenny, diam-diam tidak memberitahu Oliver dia sudah mendapat beasiswa ke Paris. 

Demi tetap bersama, Oliver melamar Jenny.
“Kau mau menikahiku?” tanya Jenny.
”Ya.”
“Kenapa?”
“Karena,” kataku
“Oh,” ujarnya, “itu alasan yang sangat bagus.”

Oliver mengajak Jenny ke rumah orangtuanya—yang tidak terlalu merestui hubungan mereka. Hal itu membuat Oliver marah. Ayahnya menganggap dia masih kecil dan tidak bisa menjaga diri sendiri. Ayahnya memang tipe diktator dan menganggap anak sebagai bawahan. Oliver memberontak dan berusaha tidak terikat lagi dengan orangtuanya. Maka, Oliver menikahi Jenny, tetapi mereka memang harus memulai kehidupan di apartemen yang jelek.

Perlahan-lahan, tanpa terlalu sentimental, cerita berlanjut pada perjuangan Oliver menyelesaikan pascasarjananya hingga mendapat pekerjaan yang layak. Mereka pindah ke New York, hidup lebih baik dengan rumah yang lapang. Sayangnya satu hal yang membuat cinta mereka perlu dihantui ketakutan akan perpisahan lagi: Jenny sakit parah.

Demi ada kesedihan, mari buat tokoh ceweknya mati -_-
Novel ini lebih seperti catatan kenangan atau seperti seorang teman yang bercerita padamu di suatu malam. Saat teman cowokmu tiba-tiba merasa sentimental setelah melihat bunga, dan dia ingin bercerita tentang cewek yang dia sukai dan mati. Dan kita tak mengharapkan dia bercerita dengan sangat apik seperti penulis yang hebat.

Kekuatan novel ini bukan di narasi, tetapi dialog. Erich Segal memang jago dalam urusan membuat dialog cinta terdengar lebih cerdas daripada sekadar percakapan cinta gombal atau klise. Contohnya seperti yang kukutip. Tonton juga filmnya, karena keseluruhan novel ini memang diambil dari filmnya. Hal ini bukti kalau tidak perlu mendayu-dayu untuk menyatakan cinta, tidak perlu berbunga-bunga untuk menyajikan cerita cinta yang indah, hanya perlu hubungan itu sendiri. Kejelasan dan kejernihan.

Kadang-kadang, penulis romance lokal abai untuk membangun hubungan antarkarakter dan terlalu sibuk untuk merangkai kata-kata yang seperti taman penjerat di jendela kamar: menghalangi pemandangan!

Hal yang cukup disayangkan dari cerita ini adalah adanya ketidaklogisan pada adegan Oliver diberitahu oleh dokter bahwa istrinya sakit leukimia. Sang dokter meminta Oliver untuk merahasiakan hal tersebut dari Jenny, karena hidup Jenny tidak lama lagi. Tentu saja hal ini aneh, kenapa mereka harus menyembunyikannya, bukannya langsung mengajak Jenny mengikuti terapi atau perawatan atau apa? Apalagi, tidak ada sebelumnya tanda-tanda (foreshadowing) bahwa Jenny menderita suatu penyakit. Inilah kelemahan dari novel ini, selain masih ada beberapa kebetulan atau tiba-tiba.

Walaupun begitu, saat membaca versi novelnya kita tidak perlu melihat keanehan lain seperti di film. Haha. Yaitu saat Jenny masih kelihatan cantik meskipun sudah sekarat, seperti di sinetron atau film murahan. Mungkin dimaklumkan karena film tahun 70-an.

Bagaimanapun juga, novel ini menarik dan bagus untuk dibaca pada bulan Februari seperti ini. Dengan membacanya kita akan tahu beberapa hal yang tidak terjelaskan oleh filmnya. Inilah keunggulan novel, ruangannya lebih dari cukup untuk memuat semua cerita dan alasan di balik tindakan tokoh. Sedangkan film, ada keterbatasan untuk mendapat informasi yang tidak bisa diverbalkan begitu saja.

Contohnya, di film ada adegan Jenny bermain bersama-sama anak-anak di pantai dan Oliver memperbaiki mesin. Saat menonton aku tahu Jenny mengajar di sekolah, tetapi ternyata itu adalah sebuah klub kapal persiar untuk anak-anak. Aku baru tahu setelah membaca bukunya. Jadi, membaca novel lebih baik jika kamu tertarik dengan cerita, dibanding film yang punya keterbatasan.

2014/2 Fight Club (Chuck Palahniuk)

Judul: Fight Club
Penulis: Chuck Palahniuk


2014/1 Cheer Boy!! (Ryo Asai)

Judul: Cheer Danshi!! (Cheer Boy!!)
Penulis: Asai Ryo
Penerjemah: Faira Ammaeda
Penyunting: Tia Widiana
Proofreader: Dini Novita Sari
Desain: Bambang "Bambi" Gunawan
Penerbit: Penerbit Haru
Cetakan: I, November 2013

“… Tapi apakah ini masih bisa disebut cheerleading bila yang melakukannya sendiri tidak bisa menikmatinya?” 

2 Menit 30 Detik
Penampilan sebuah tim pemandu sorak saat turnamen hanya dua menit tiga puluh detik. Dalam rentang waktu yang singkat itu mereka harus melakukan berbagai gerakan dan teknik demi membuat juri dan penonton kagum. Pemandu sorak bukan hanya jenis olahraga untuk mendukung, tetapi juga olahraga di mana mereka didukung. Dengan senyuman, mereka melompat tinggi dan meneriakkan semangat yang menggebu.

Selama ini kita hanya melihat tim pemandu sorak perempuan. Banyak film-film remaja Amerika yang menampilkan tokoh perempuan anggota tim pemandu sorak. Biasanya mereka memakai rok mini, baju seragam ketat, serta rambut dikuncir kuda tinggi-tinggi. Entah karena posisi cheer sangat prestisius, biasanya tokoh perempuan itu digambarkan sombong dan sedikit kejam.

Namun, novel ini, ditulis oleh Asai Ryo dan memenangkan penghargaan Tenryu Literary Award, menceritakan tentang sebuah tim pemandu sorak laki-laki. Memang, ada tim yang khusus perempuan, khusus laki-laki, dan campuran, tetapi tim khusus laki-laki masih bisa dibilang minoritas. Tidak heran kalau ada orang yang berkata “Bukannya itu olahraga cewek?”

Dunia sekarang memang suadh dikuasai cewek, haha. Ya, dunia menjadi lebih feminin dengan banyak hal dikaitkan dengan perempuan. Lebih banyak barang perempuan, kan? Bahkan cewek biasa saja melakukan pekerjaan cowok atau memakai pakaian cowok. Mereka menyebutnya kesetaraan, dan mendapat gelar tomboy bukan berarti itu buruk. Sebaliknya, sekarang cowok mesti berhati-hati jika melakukan “kesetaraan”. Bisa-bisa dikatai yang tidak-tidak. Namun, menurutku, Jepang adalah satu negara dengan cowok yang sifat feminin mereka bukan jadi sesuatu yang dianggap terlalu buruk. Sering aku melihat di film, aktor-aktor mereka memakai riasan, pakaian yang sangat fashionable, atau sekadar memakai tas tote bag. Bagiku, tote bag masih terlihat milik cewek.

Padahal seorang laki-laki melakukan kegiatan cewek bukan berarti mereka menjadi bukan laki-laki. Memangnya mereka ‘merendahkan’ diri? Kalau begitu, perempuan masih diangap rendah dong, di dunia ini. Walaupun, anehnya, masih ada cewek yang suka mengatai “banci” atau “tidak laki-laki” pada laki-laki yang melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan perempuan. 

Ah, kenapa malah panjang lebar membahas hal ini, sebaiknya membahas novelnya saja. :p

Dari Judo ke Cheerleader
Haruki lahir di keluarga atlet judo. Rumahnya memiliki bangunan untuk dojo, tempat berlatih judo. Orangtuanya pelatih judo di universitas dia kuliah. Kakak perempuannya, Haruko, adalah salah satu atlet yang bersinar di klub mereka. Haruki bertubuh kecil, jadi dia bukanlah atlet yang hebat seperti kakaknya. Haruki lebih suka melihat punggung kakaknya saat bertanding, dan menyemangati kakaknya.

Haruki merasa tidak akan bisa jago judo, terlebih setelah dia cedera di bahu. Kakaknya terus menyemangati dan mengingatkannya meminum obat. Sebenarnya dalam hati yang terdalam, Haruki tahu kalau dia hanya menjadikan cederanya untuk menghindari judo. Karena itu dia mundur dari klub.

Bersama Kazuma, teman semanjak kecilnya, mereka sama-sama keluar dari klub judo. Kazuma adalah orang yang paling memahami Haruki, walaupun temannya itu tidak mengatakan apa-apa. Kemudian, Kazuma mempunyai ide untuk membuat tim pemandu sorak khusus laki-laki, karena orangtuanya dulu adalah pelatih dan anggota tim pemandu sorak di universitas. Dia ingin seperti mereka.

Satu per satu mereka mengumpulkan anggota. Syarat untuk mengikuti turnamen adalah minimal delapan anggota dan maksimal enam belas anggota. Kazuma membuat pengumuman di kampus, dengan kertas warna kuning mencolok. Tidak banyak yang tertarik untuk masuk tim mereka, tetapi mereka mencari anggota dengan menyelinap ke kelas olahraga. Lalu mereka tampil di festival kampus, dan menarik beberapa orang untuk bergabung. Walaupun beberapa dari mereka ada yang tidak menguasai gerakan paling dasar sekali pun, seperti handstand, Kazuma dan Haruki tetap menerima mereka. 

Bromance
Di mana ada sekelompok laki-laki berjuang untuk mencapai sebuah tujuan, di situlah bromance terjadi. Bromance bukan sesuatu seperti pacaran atau hubungan seksual, tetapi lebih ke saling memahami satu sama lain. Dalam novel ini banyak sekali pasangan yang bisa diberi label bromance.

Tokoh utamanya, Haruki, selalu merasa tenang kalau dekat Kazuma, karena Kazuma yang paling mengerti dirinya. Kazuma sengaja mengatur jadwal evaluasi mereka di kantin langganan agar Haruki tidak perlu bertemu dengan anggota tim judo yang lebih dulu ke sana. Sedangkan Haruki, tidak pernah menganggap Kazuma saingan, padahal dia perlu menciptakan suasana kompetitif agar bisa meningkatkan kemampuan sendiri.

Ada juga tokoh Gen dan Ichiro, pasangan pelawak dengan logat Kansai. Ichiro selalu lebih unggul dibanding Gen, saat mereka masuk tim bisbol di SMP, membuat Gen mesti mengakui kalau dia tidak akan bisa menyamai Ichiro. Tetapi Ichiro orangnya tidak perasa saat mengkritik anggota yang belum menguasai gerakan tertentu. Hal itu membuat Gen ingin mengingatkan Ichiro bahwa pasti ada alasan seseorang tidak bisa melakukan apa yang Ichiro lakukan. 

Kebanyakan tokoh-tokoh di dalam novel ini memiliki masalah masing-masing, terutama dengan sahabat mereka. Tetapi mereka saling mendukung, dan tidak menganggap yang lain lebih buruk daripada mereka. 

Novel yang Keren
Apakah karena penulisnya orang Jepang buku ini jadi sangat bagus? 

>.<  

Buku terjemahannya sendiri sekitar 420 halaman, tebal sekali dan membutuhkan waktu lama bagiku menghabiskannya. Namun, alurnya tertata dengan rapi. Setiap tokoh diperlihatkan perkembangan karakter mereka. Ada enam belas tokoh dan itu membuat bukunya tebaaal karena setiap tokoh diberi kesempatan untuk mendapatkan simpati pembaca melalui kisah alasan mereka ikut tim pemandu sorak laki-laki. Dan penulisnya berhasil membuatku menyukai setiap tokoh di dalam novel ini.

Sudah banyak cerita tentang sekelompok pemuda yang dianggap pecundang menunjukkan mereka bisa menjadi pemenang setelah berusaha. Sebut saja seperti Nodame CantabileSumo Do Sumo Don’t, terus dari Hollywood sangat banyak seperti GleePitch PerfectStep UpBring It On, dan banyak lagi. Endingnya tentu tertebak, tetapi hasil bukanlah tujuan utama. Proses adalah yang terpenting, proses para tokohnya berubah dari seorang loser menjadi winner. Dan perjuangan mereka sebaiknya dirayakan dengan kemenangan yang pantas mereka dapatkan. 

Novel ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga penyemangat untuk pembaca bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk dicapai, asalkan kita berusaha untuk mencapainya.