Thursday, February 20, 2014

2014/3 Love Story (Erich Segal)

Sumber: Hachette
“Kenapa kau begitu yakin aku dari prep school?”
“Tampangmu bodoh dan kaya,” jawabnya sambil mencopot kacamatanya.
“Kau keliru,” protesku. “Sebenarnya aku cerdas dan miskin.”
“Oh, jangan mengada-ada. Aku cerdas dan miskin.”
“Apa yang membuatmu begitu pintar?" Aku bertanya padanya.
“Aku takkan mau ditraktir minum kopi olehmu,” ia menjawab.
“Aku juga tak akan mau mengajakmu.”
“Itulah,” balasnya, “tandanya kau bodoh.”
Dan dialog paling kusuka saat Jenny menggoda Oliver:
“Jenny, kalau kau begitu yakin aku bodoh, kenapa kau memaksaku mengajakmu minum kopi?”
Ia menatap mataku dan tersenyum.
“Aku suka tubuhmu,” katanya. 



Pertama terbit tahun 1970
Akhirnya aku bisa membaca versi novel cerita ini, setelah selama ini hanya menonton filmnya sekitar ... tidak kurang dari sepuluh kali mungkin. Haha. Pertama kali, saat masih ‘kecil’, seperti pernah kuceritakan di sini. Tetap saja cerita ini membuatku merasa seakan ada wallpaper taman bunga pada dinding kamarku. Kisah Oliver dan Jenny sudah menjadi cerita klasik tentang dua orang yang berasal dari status sosial berbeda. Ceritanya sentimental, memang, tetapi tidak terlalu berlebihan, menurutku.

Novelnya dibuat setelah filmnya selesai, dan terjual sebagai best seller internasional. Sedangkan filmnya sendiri memperoleh nominasi Oscar untuk beberapa kategoi termasuk “Best Writing, Screenplay Based on Material not Previously Published” untuk Erich Segal sendiri (kategori yang panjang juga, ya~). Dan film ini memenangkan kategori “Best Music, Original Score” untuk Francis Lai. Lagu “(Where do I Begin) Love Story” memang indah. Jadi, pengen dengar lagi, nih.


Oliver dan Jenny
Cerita dimulai dari Oliver dipermainkan Jenny saat cowok itu ingin meminjam buku di perpustakaan Radcliffe. Jenny, si petugas perpustakaan, dengan sentimennya pada mahasiswa Harvard, menyindir Oliver. Seharusnya mahasiswa Harvard punya perpustakaan yang lebih lengkap. Oliver berusaha berbaik-baik, tetapi sebagai orang bertemperamen buruk, dia hanya bisa membalas perkataan Jenny demi memperoleh buku itu. Lalu terjadi percakapan seperti kukutip di atas.

Cerita berlanjut. Mereka saling jatuh cinta, membuat mereka berubah, seperti orang jatuh cinta pada umumnya—ingin menjadi yang terbaik bagi pasangannya. Namun, tetap saja ada ketakutan-ketakutan akan kehilangan. Seperti Oliver, dia sering digoda teman sekamarnya karena sudah di-‘kuasai’ oleh Jenny. Atau seperti Jenny, diam-diam tidak memberitahu Oliver dia sudah mendapat beasiswa ke Paris. 

Demi tetap bersama, Oliver melamar Jenny.
“Kau mau menikahiku?” tanya Jenny.
”Ya.”
“Kenapa?”
“Karena,” kataku
“Oh,” ujarnya, “itu alasan yang sangat bagus.”

Oliver mengajak Jenny ke rumah orangtuanya—yang tidak terlalu merestui hubungan mereka. Hal itu membuat Oliver marah. Ayahnya menganggap dia masih kecil dan tidak bisa menjaga diri sendiri. Ayahnya memang tipe diktator dan menganggap anak sebagai bawahan. Oliver memberontak dan berusaha tidak terikat lagi dengan orangtuanya. Maka, Oliver menikahi Jenny, tetapi mereka memang harus memulai kehidupan di apartemen yang jelek.

Perlahan-lahan, tanpa terlalu sentimental, cerita berlanjut pada perjuangan Oliver menyelesaikan pascasarjananya hingga mendapat pekerjaan yang layak. Mereka pindah ke New York, hidup lebih baik dengan rumah yang lapang. Sayangnya satu hal yang membuat cinta mereka perlu dihantui ketakutan akan perpisahan lagi: Jenny sakit parah.

Demi ada kesedihan, mari buat tokoh ceweknya mati -_-
Novel ini lebih seperti catatan kenangan atau seperti seorang teman yang bercerita padamu di suatu malam. Saat teman cowokmu tiba-tiba merasa sentimental setelah melihat bunga, dan dia ingin bercerita tentang cewek yang dia sukai dan mati. Dan kita tak mengharapkan dia bercerita dengan sangat apik seperti penulis yang hebat.

Kekuatan novel ini bukan di narasi, tetapi dialog. Erich Segal memang jago dalam urusan membuat dialog cinta terdengar lebih cerdas daripada sekadar percakapan cinta gombal atau klise. Contohnya seperti yang kukutip. Tonton juga filmnya, karena keseluruhan novel ini memang diambil dari filmnya. Hal ini bukti kalau tidak perlu mendayu-dayu untuk menyatakan cinta, tidak perlu berbunga-bunga untuk menyajikan cerita cinta yang indah, hanya perlu hubungan itu sendiri. Kejelasan dan kejernihan.

Kadang-kadang, penulis romance lokal abai untuk membangun hubungan antarkarakter dan terlalu sibuk untuk merangkai kata-kata yang seperti taman penjerat di jendela kamar: menghalangi pemandangan!

Hal yang cukup disayangkan dari cerita ini adalah adanya ketidaklogisan pada adegan Oliver diberitahu oleh dokter bahwa istrinya sakit leukimia. Sang dokter meminta Oliver untuk merahasiakan hal tersebut dari Jenny, karena hidup Jenny tidak lama lagi. Tentu saja hal ini aneh, kenapa mereka harus menyembunyikannya, bukannya langsung mengajak Jenny mengikuti terapi atau perawatan atau apa? Apalagi, tidak ada sebelumnya tanda-tanda (foreshadowing) bahwa Jenny menderita suatu penyakit. Inilah kelemahan dari novel ini, selain masih ada beberapa kebetulan atau tiba-tiba.

Walaupun begitu, saat membaca versi novelnya kita tidak perlu melihat keanehan lain seperti di film. Haha. Yaitu saat Jenny masih kelihatan cantik meskipun sudah sekarat, seperti di sinetron atau film murahan. Mungkin dimaklumkan karena film tahun 70-an.

Bagaimanapun juga, novel ini menarik dan bagus untuk dibaca pada bulan Februari seperti ini. Dengan membacanya kita akan tahu beberapa hal yang tidak terjelaskan oleh filmnya. Inilah keunggulan novel, ruangannya lebih dari cukup untuk memuat semua cerita dan alasan di balik tindakan tokoh. Sedangkan film, ada keterbatasan untuk mendapat informasi yang tidak bisa diverbalkan begitu saja.

Contohnya, di film ada adegan Jenny bermain bersama-sama anak-anak di pantai dan Oliver memperbaiki mesin. Saat menonton aku tahu Jenny mengajar di sekolah, tetapi ternyata itu adalah sebuah klub kapal persiar untuk anak-anak. Aku baru tahu setelah membaca bukunya. Jadi, membaca novel lebih baik jika kamu tertarik dengan cerita, dibanding film yang punya keterbatasan.

No comments:

Post a Comment

What are you reading?