Thursday, February 20, 2014

2014/7 Can't Wait to Get to Heaven (Fannie Flagg)

Judul asli: Can’t Wait to Get to Heaven
Penerbit: Voila Books
Jumlah halaman: 525 halaman
Penerjemah: Dian Guci
Editor: Suhindrati a. Shinta
Penyelaras aksara: Ifah Nurjani, Alfiyan
Pewajah sampul: Widu Budi
Pewajah isi: elcreative26

Satu hari di Elmwood Springs, Missouri, tanggal 1 April 
Elner Shimfissle, berumur lebih kurang 89 tahun (bahkan keponakannya sendiri tidak tahu pasti umur Elner berapa), jatuh dari tangga saat mengambil buah ara dari pohonnya. Dia tidak sengaja menyentuh sarang tabuhan (tawon besar) sehingga dia diserang sekumpulan hewan ganas itu hingga jatuh. Dengan tubuh setua itu, dan gemuk, Elner membuat orang-orang tak yakin dia selamat. Tetangganyalah yang menemukan dia pertama kali. Dia dibawa ke IGD rumah sakit di Kansas city, karena Elmwood Springs hanyalah kota kecil yang tidak punya IGD. Elner diperiksa, lalu dinyatakan dia meninggal pukul 09.47.

Berita itu membuat semua orang yang mengenal Elner terkejut dan sedih. Terutama Norma, keponakannya yang sangat dekat dengannya. Semua orang mengenal Elner sebagai orang yang baik, ramah, senang membantu, dan berpikiran terbuka. Walaupun Elner kalah cantik dan pintar seperti adiknya, Ida—yang mana adalah ibu dari Norma—tetap saja Elner menjadi sosok yang menarik. Dia selalu mempertanyakan hal yang jarang dipikirkan orang, memperhatikan orang lain yang tidak diperhatikan, dan banyak kebaikan lain. Bahkan yang tidak pernah kamu bayangkan akan dilakukan oleh seorang berusia paruh baya. 

Meninggalnya Elner membuat semua orang sedih, dan acara pemakaman pun dipersiapkan. Seluruh kota siap untuk berbela sungkawa. Namun, Elner mengalami NDE (Near Death Experiences) dan kembali hidup. Seorang perawat muda panik setengah mati melihatnya. Norma pingsan untuk kesekian kalinya. Sebuah kejutan tak diharapkan, tetapi semua senang bahwa Elner tidak jadi meninggal. 

Tentang masyarakat
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga mahatahu (omnisien). Jadi, pembaca bisa mengetahui apa saja yang terjadi akibat berita kematian tersebut. Mulai dari orang-orang terdekat Elner, yaitu Norma, Macky—suami Norma, Tot dan Ruby—tetangga Elner, penyiar radio, redaksi koran lokal, teman Elner di wilayah pertanian pinggir kota, banyak orang lagi, hingga anak Norma yang tingga jauh di St. Loius. Kita bisa mendapatkan bagaimana hubungan para tokoh itu dengan Elner. 

Tentu saja ini membuat begitu beragamnya karakter di dalam novel ini. Setiap karakter dibuat berbeda, namun tetap memperlihatkan bagaimana masyarakat kota kecil Amerika. Mereka saling mengetahui kabar masing-masing, saling peduli, dan akur. Sebuah kejadian seperti kematian, bisa sangat menghebohkan. 

Di mana klimaksnya?
Hal pertama yang kupelajari dari novel ini adalah pembukaan novel mestilah mencerminkan isi buku. Sejak awal pembaca sudah diberitahu bahwa novel ini komedi dan gaib. Maksudku, sejak awal ada dialog lucu serta adegan arwah Elner mengomentari keadaan di sekitarnya. 

Setelah Elner Shimfissle tak sengaja menjolok sarang tabuhan di atas pohon ara miliknya itu, hal terakhir yang diingatnya adalah berpikir sendiri, “Waduh!” .... “Tuhan yang baik,” pikirnya. “Ada-ada saja, sih." (halaman 1)

Dan berikutnya Elner mengomentari jubah hijau para tenaga medis yang sedang berusaha membuatnya tetap tejaga. Arwah Elner sendiri, tanpa dia sadar, sudah berpisah dengan jasadnya.

Kedua, setiap hal yang dibicarakan oleh karakter mestilah ada pengaruhnya dengan konflik utama. Di sini, walaupun konfliknya cukup ajaib tetapi bukan sesuatu yang bombastis, adalah tentang Elner yang meninggal sementara dan melalui perjalanan ke ‘surga’. Hal-hal yang dibicarakan oleh dia sebelumnya dan oleh karakter-karakter lain, terkait denga percakapannya dengan ‘pencipta dunia’, yang teryata adalah sepasang suami istri Dorothy dan Raymond. Neighbor Dorothy adalah acara radio kegemaran Elner dulu.

Ketiga, penulis bisa menyampaikan pesan tanpa ceramah dengan membuat karakter mengobrol satu sama lain. Tambahkan humor dan sinisme agar membuat dialog menarik.

Keempat, kita bisa mengeksplor sebuah kejadian berdampak pada bermacam-macam karakter, sehingga, well, untuk penulis yang kesusahan menulis 'tebal',  ini bisa jadi salah satu solusi. Coba bayangkan sebuah sebab dan pikirkan puluhan akibatnya. Pikirkan pula puluhan akibatnya terhadap orang-orang yang akan terkena dampak. Begitulah kita bisa membuat cerita yang lebih menarik.

Walaupun begitu, beberapa bagian novel ini cenderung membosankan. Perbedaan ritme cerita di awal dan menjelang penghabisan jauh berbeda. Di awal fasenya lambat. Adegan satu hari menghabiskan lebih setengah buku. Sedangkan seperempat terakhir buku terlalu cepat. Bab-bab menjadi pendek, kronologi melompat satu tahun begitu saja. Tentu saja, jika ingin cerita yang lebih detail akan jadi mubazir dan novelnya bisa setebal 2000 halaman. 

Masalah lain adalah aku tidak mengerti di mana klimaksnya. Menurutku cerita ini bisa selesai setelah Elner kembali tinggal di rumahnya setelah kejadian ajaib bertemu tuhan tersebut. Itulah kilmasknya. Namun, kita diberikan cerita tambahan karena banyak hal dan karakter yang menuntut untuk diberi peyelesaian. Dasar penulisnya sangat baik, setiap karakter mendapat porsi cerita, bahkan karakter yang sangat minor. Oh, ya, bahkan penulis menceritakan tentang kue dan pistol. Akibatnya dua bab terakhir terpaksa menjadi rekap kejadian yang bisa dijabarkan, tetapi akan memakan banyak tambahan halaman. Kita tahu, bab rekap itu kurang menyenangkan. 



Novel ini tetap menarik. Penulis mengangkat tema kematian dan kebaikan dengan kocak, bertokohkan lansia (hampir tidak ada tokoh berusia di bawah 30 tahun), dan narasi cukup segar tak berbelit-belit. Dan aku jadi ingin kembali sesekali menonton Golden Girls, serial TV  yang pernah kutonton masih zaman kuliah. Hahaha.

No comments:

Post a Comment

What are you reading?