Thursday, February 20, 2014

2014/4 Pay It Forward (Catherine Ryan Hyde)

Sumber: aksiku.com
Judul Pay It Forward
Penulis: Catherine Ryan Hyde
Penerjemah: Diniarty Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, Maret 2001

Sastra adalah propaganda
Salah satu cara untuk menyampaikan idemu adalah melalui sastra, dengan menulis fiksi. Sejarah telah banyak membuktikan ini cukup ampuh. Tanpa kekerasan. Tanpa pemaksaan. Cerita bisa memengaruhi orang, merasuk ke alam bawah sadar mereka. Coba diingat kembali, buku apa yang suka kamu baca waktu kecil? Tidak mengherankan salah satu atau beberapa sifatmu terpengaruh oleh watak tokoh dari buku tersebut. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan perbedaan sebuah bangsa berdasarkan ciri khas dongeng anak-anak mereka.

Novel yang sudah difilmkan dengan judul yang sama, Pay It Forward, pada tahun 2000 ini bisa dibilang sebagai karya propaganda. Isinya terang-terangan menunjukkan sebuah ide untuk mengubah dunia. Pay It Forward, atau Membalas ke Yang Lain. Ide yang diawali sebuah tugas di kelas ilmu sosial SMP, oleh anak berumur tiga belas tahun.

Tugasnya sederhana:
PIKIRKAN SEBUAH IDE UNTUK MENGUBAH DUNIA. DAN LAKSANAKAN IDE ITU.

Trevor McKinney, siswa tersebut, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Dia bisa saja tidak mengerjakannya karena tugas tersebut hanya untuk nilai ekstra. Namun, menjadi seorang anak kecil berarti tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan. Sedangkan orang tua selalu melihat penghalang dalam mewujudkan impian mereka.

Idenya begini: A akan melakukan sebuah bantuan kebaikan kepada tiga orang. Kebaikan yang besar, sesuatu yang bisa mengubah hidup orang-orang tersebut, membuat mereka sangat bersyukur. Kemudian masing-masing akan membalas ke tiga orang lagi. Dari 3 menjadi 9 menjadi 27 menjadi 81. Seperti MLM tetapi lebih tulus.

Reuben St. Clair, guru ilmu sosialnya, terkesan dengan ide tersebut. Bahkan dialah salah satu orang yang ditolong Trevor. Reuben adalah veteran perang Vietnam, sebuah kecelakaan perang membuat sebelah mukanya terbakar, mata kirinya hilang. Dia memakai penutup mata ke mana-mana. Dia pun sudah terbiasa melihat pandangan aneh orang setiap pertama kali melihatnya.

Orang pertama yang dibantu oleh Trevor adalah Jerry, seorang tunawisma. Trevor memberinya uang untuk membeli pakaian dan melamar pekerjaan. Orang kedua adalah Ida Greenberg, nenek tua yang kesepian dan tidak dipedulikan anaknya. Trevor membantunya dalam merawat taman dan kucingnya, dua hal yang dicintai Mrs. Greenberg. Dan orang ketiga adalah Reuben. Trevor berusaha menjodohkan gurunya dengan ibunya sendiri, Arlene McKinney.

Namun, tidak ada yang berjalan dengan mulus. Jerry kembali ke kebiasaan lamanya berjudi tepat setelah gajian pertama diterima—yang langsung habis. Mrs. Greenberg meninggal dunia tanpa sempat membalas ke yang lain. Sedangkan Reuben tak serta merta bisa menerima hubungan dengan Arlene, karena dia masih memiliki ketakutan diakibatkan fisiknya dan segala macam.

Trevor hampir menyerah, hingga tanpa disadarinya, setiap orang masih punya nurani untuk menolong orang lain.

Kelompok marginal
Penulis berhasil membuat adegan-adegan dramatis namun tidak cengeng. Padahal dia sengaja menyorot kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan memang patut ditolong, tetapi di dunia nyata mereka terkadang disalahartikan sebagai ‘kurang manusia’. Lihat saja orang-orang yang ditolong Trevor: tunawisma-pengangguran, orang tua kesepian, orang dengan keterbatasan fisik. Belum lagi tokoh-tokoh yang memperoleh efek pay it forward dari orang yang Trevor tolong: kasir remaja di toko sembako, gadis gemuk yang rapuh, anggota geng kelas teri, gay, dan waria. Bahkan keluarga Trevor sendiri tidak lengkap, ayahnya seorang tak bertanggung jawab yang pergi begitu saja tanpa kabar dan datang begitu saja tanpa merasa bersalah. Orang-orang bermasalah juga manusia, juga membutuhkan pertolongan. Niat baik Trevor hanya untuk mengubah dunia, sesuatu yang mungkin saja bisa tercapai.

Hal ini mengingatkanku pada pendapat bahwa adalah manusiawi jika manusia melakukan kejahatan. Kita membaca kisah Habil dan Qobil di kitab suci, atau kisah Adam dan Hawa memakan buah terlarang. Manusia memang berbuat salah. Malah aneh manusia melakukan kebaikan kepada sesamanya. Dan, ya, dalam novel ini gerakan Membalas ke Yang Lain diliput oleh media. Saat efeknya tersebar ke banyak penjuru semakin banyak berita kebaikan di koran. Seandainya saja memang hanya berita seseorang melakukan kebaikan kepada orang lain yang masuk berita. Seandainya~

Novel vs. Film
Aku tidak terlalu banyak membaca buku yang difilmkan dengan urutan menonton dahulu baru membaca bukunya. Namun, setiap kali mencoba selalu merasa buku lebih komplit dan memuaskan bagiku. Dengan keterbatasan masing-masing, buku jauh lebih unggul dalam segi menyampaikan cerita. Kita bisa diberi penguluran waktu, berdebar-debar menunggu kejadian selanjutnya, berkali-kali, saat membaca buku. Sedangkan film, kebanyakan masalah yang kompleks terihat begitu sederhana. Kurang terasa, seperti makan dengan sambal yang kurang pedas.

Namun, penggunaan sudut pandang yang berpindah-pindah, walaupun dijelaskan, cukup mengangguku, membuat aku agak kesulitan menyelesaikan lebih cepat. Jika saja buku ini disajikan tanpa ada POV 1 (dalam bentuk wawancara atau jurnal para tokoh) tiba-tiba muncul di POV 3, tentu proses pembacaan akan lebih lancar.

Buku ini sangat bagus untuk dibaca demi memahami apa itu pay it forward. Dan gerakan ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Yup, beginilah hakikat sebuah karya fiksi, tugasnya untuk menyampaikan propaganda. 

No comments:

Post a Comment

What are you reading?