Sumber Gambar: Aulia |
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Barokah Ruziati
Desain Sampul: Marcel A. W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2014
Kecelakaan, Bukan Kebetulan, Seperti Takdir
Pertemuan Allyson Haeley dengan Willem ada kaitannya dengan Shakespeare. Alih-alih menonton drama Shakespeare bersama rombongan remaja yang ikut rangkaian acara di Teen Tour! di Stanford-upon-Avon, Allyson menerima undangan Willem. Dia pergi bersama Melanie, teman sejak masa kecilnya. Dan mereka menonton pertunjukkan Twelfth Night versi kelompok teater tanpa panggung, Gerilya Will. Di sanalah semua dimulai. Saat Willem melakukan kontak mata dengan Allyson. Saat cowok Belanda itu melemparkan koin kepada si cewek Amerika.
Takdir lain terjadi, Allyson bertemu lagi dengan Willem. Dia bercerita penerbangannya ke Paris batal karena aksi mogok pekerja bandara di sana. Willem, seorang petualang yang sudah dua tahun tidak pulang, mengajak Allyson untuk naik kereta bersamanya. Ke Paris. Padahal Allyson bukanlah seorang petualang. Dia hidup bersama orangtuanya yang sudah merencanakan banyak hal semenjak dia kecil. Dia lebih senang tiduran di kamar sambil menonton film bersetting Paris daripada benar-benar pergi, apalagi dengan orang asing, yang baru dikenalnya semalam.
Louise Brooks Sumber Gambar: Listal.com |
Namun, dia tetap pergi. Kemudian, terjadi adegan yang langsung mengingatkanku pada film Before Sunrise. Di atas kereta mereka saling mengobrol. Tetapi Willem memanggilnya Lulu, singkatan dari Louise Brooks, seorang aktris. Itu gara-gara potongan rambut bob Allyson. Tapi, cewek itu menerima begitu saja. Selama di Paris, mereka mengalami perjalanan yang membuat Allyson menyukai Willem. Semua terjadi dalam satu hari.
Hingga besoknya—tidak seperti di Before Sunrise, mereka terbangun berdua—Allyson malah terbangun sendirian. Dia merasa bodoh sudah memercayai cowok tampan berambut pirang dengan mata sehitam arang. Padahal sepanjang perjalanan sudah berkali-kali Willem bertemu dengan cewek-cewek yang pernah ada sejarah dengannya. Allyson sudah melihat itu, tetapi dia tidak bisa menghentikan perasaannya. Dalam kekalutan dan perasaan seperti habis dirampok, Allyson kembali ke Amerika.
Pertanyaan yang Tepat
Salah satu kutipan Shakespear yang terkenal: to be or not to be, that is the question. Namun, Allyson lebih setuju kalau pertanyaannya adalah tentang bagaimana menjalankannya. Mungkin mudah menjadi sesuatu, tetapi bagaimana menjalankannya adalah tugas yang berbeda.
Allyson memulai kehidupannya menjadi mahasiswi. Mahasiswi yang patah hati. Seperti zombie. Nilai-nilainya turun, dia merasa hanya selalu mengecewakan ibunya yang perfeksionis. Ibunya ingin dia sekolah pra-kedokteran, tetapi Allyson sadar itu bukan yang dia inginkan. Dan sepanjang satu tahun dia masih berduka gara-gara Willem.
Namun, setelah masuk kelas Shakespeare Out Loud, kelas yang membuatnya kenal dengan Dee, cowok kulit hitam dan seorang gay, Allyson berubah menjadi lebih terbuka. Selama ini dia hanya berteman dengan Melanie, sampai-sampai merasa tidak bisa lagi berteman dengan orang lain. Dia menceritakan tentang Willem pada Dee. Dan cowok itu menyemangati Allyson agar bangkit dan mencari jawaban tentang Willem. Lalu, dimulailah satu per satu pencarian. Allyson sadar dia tidak mengetahui banyak hal tentang Willem untuk bsia menemukannya. Tetapi dia percaya pada kecelakaan, sesuatu dapat membawanya ke jawaban yang tepat.
Dan dia menjawab pertanyaan BAGAIMANA. Ya, dia bisa menjadi orang yang patah hati, tetapi bedanya dia menjadi orang yang berjuang untuk menemukan jawaban. Bukan sekadar sakit hati dan galau selama hampir satu tahun penuh.
Jika Aku Tidak Melanjutkan Membaca Buku Ini
Inilah buku ketiga Gayle Forman yang kubaca. Aku suka dwilogi If I Stay. Penulis membuat kisah dengan cara bercerita yang manis. Karakter utamanya cewek yang biasa, tetapi berubah setelah melakukan hal yang di luar dari zona nyamanya.
Awalnya kupikir Just One Day akan sama seperti If I Stay, cerita yang hanya terjadi satu hari. Ternyata tidak. Ini seperti kisah satu hari, dan apa yang terjadi setelah itu. Ya, karena terkadang cerita satu hari memberikan dampak yang sangat besar. Kita penasaran dengan kelanjutannya, kan?
Sumber Gambar: Goodreads |
Aku bisa membagi tiga bagian dalam buku ini: pertemuan Allyson-Willem, masa-masa sedih, dan masa-masa pencarian. Aku suka bagian pertama dan terakhir, tidak yang di tengah-tengah. Penulis memang pintar membuat suasana yang sesuai dengan cerita, sampai-sampai aku terpengaruh untuk malas membaca bagian tengah.
Aku tidak tahu apakah karena memang aku begitu gampang terbawa suasana cerita, tetapi dia berhasil. Aku tidak suka dengan aura negatif yang Allyson alami selama kuliah. Tetapi, aku memahami kenapa dia begitu. Aku bersimpati padanya—dia terpaksa kuliah di jurusan yang tidak dia sukai, gara-gara orangtuanya. Teman-temannya lebih suka berkumpul tanpa dirinya. Dan satu-satunya yang menolong adalah orang lain, konselor di kampus—karena sedikit banyak aku pernah berada di sana. Tapi, ya, aku tidak suka saat dia bersedih hanya gara-gara teringat Willem, dan berusaha untuk melepaskan kenangan. Yang berakhir gagal total.
Maka, aku suka saat dai mulai bangkit dan tidak berdiam diri saja. Dia harus melakukan sesuatu. Misinya mungkin konyol: kembali ke Paris untuk bertemu cowok petualang yang asalnya dari Belanda dengan hanya sedikit petunjuk. Dia harus mendatangi satu per satu petunjuk yang akan mengarahkannya. Di sinilah, Gayle Forman, membuat cerita ala detektif pada cerita romance.
Aku suka dengan novel ini. Walaupun premisnya tentang cewek yang melakukan pencarian cinta masa lalu, banyak hal lain di dalamnya. Tentang orangtua yang memaksakan impiannya kepada anak sendiri. Tentang orang-orang yang suka berpura-pura. Tentang persahabatan. Tentang melakukan daftar sebelum meninggal. Tentang yakin pada keajaiban. Siapa bilang di dalam novel hanya boleh ada satu hal?
Dan aku ingin berbagi kutipan kesukaanku dari buku ini:
Hal-hal kecil yang terjadi. Kadang-kadang kelihatan tidak penting; kali lain hal-hal kecil itu mengubah segalanya. (halaman 59)
Semua orang bukanlah apa-apa yang pura-pura mereka tunjukkan. (halaman 219)
Orang-orang tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadapku—di lingkungan rumah, di SMA, di sini—maka mereka selalu berusaha mencari tahu sendiri dan menentukan siapa diriku sebenarnya. (halaman 244)
C’est courageux d’aller dans l’inconnu. Sungguh berani untuk memasuki daerah tidak dikenal. (halaman 294)
PS. Jadi pengen belajar bahasa Prancis :)